Saya salah, pernah mengatakan bahwa, "Hidup adalah pilihan!" Faktanya berbeda. Hidup ternyata tidak ada pilihan. Kita harus mampu ...
Saya salah, pernah mengatakan bahwa, "Hidup adalah pilihan!" Faktanya berbeda. Hidup ternyata tidak ada pilihan. Kita harus mampu menerima diri kita apa adanya. 'Narima ing pandum'. Ketika 9 tahun lalu kita mau untuk direkrut menjadi Manajer Sosial Kecamatan / Kota (MASKOT) tapi kemudian diubah menjadi Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK), maka disaat itu pula kita harus menerima apa adanya seluruh konsekuensi logis dari pilihan kita.
Awalnya kita kita berkhayal menjadi seorang manajer sosial, 'keren sekali', akhirnya harus menerima apa adanya ketika diubah menjadi seorang 'Tenaga'. Kemudian yang semula dianggap sebagai 'tenaga profesional', kemudian kita juga harus dapat menerima apa adanya ketika didown grade status kita oleh Menteri Khofifah menjadi 'relawan' saja.
Penekanan Tentang Definisi TKSK
Kembali ke regulasi terbaru yang mengatur tentang TKSK yaitu Permensos Nomor 28 Tahun 2018, kita harus ingat bahwa Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan yang selanjutnya disingkat dengan TKSK adalah seseorang yang diberi tugas, fungsi, dan kewenangan oleh Kementerian Sosial, dinas sosial daerah provinsi, dan/atau dinas sosial daerah kabupaten/kota untuk membantu penyelenggaraan kesejahteraan sosial sesuai lingkup wilayah penugasan di kecamatan.
TKSK adalah 'seseorang', bukan kumpulan orang, bukan institusi. Baik tugas, fungsi dan kewenangan yang diberikan Kementerian Sosial, Dinas Sosial Provinsi, Dinas Sosial Kabupaten melekat pada individu masing-masing TKSK. Setiap TKSK bertanggung-jawab atas dirinya sendiri, tidak membebankan tanggung jawab kepada paguyuban atau apapun sebutannya. Apalagi kepada pihak lain.
Sebaliknya, TKSK dari Kecamatan lain juga tidak berhak menghakimi kinerja TKSK lain. Apalagi mengatas-namakan sebagai TKSK Tingkat Kabupaten maupun TKSK Tingkat Provinsi. Pernah terjadi, ada beberapa TKSK yang datang ke Kecamatan Sambong mengatas-namakan TKSK Tingkat Kabupaten. Datang ke Kantor Kecamatan menemui Kasi Kesra (yang sekarang sudah hilang), mengevaluasi kinerja TKSK Sambong. Hasilnya?
Sudah dapat ditebak, tanpa sepengetahuan saya sebagai TKSK Sambong, hari itu saya mendapat penilaian kinerja yang sangat buruk! Andai pakai indikator A s/d E, nilai saya benar-benar 'jembik'. Dapat nilai E minus. Hahaaaa….! Saya mendapatkan predikat sebagai TKSK dengan kinerja terburuk se-Jawa Tengah. Hingga perlu mendapatkan pembinaan bagi TKSK dengan kinerja terburuk dari Kabupaten lain, katanya.
Memang hingga kini, predikat itu selalu melekat. Betapa sulitnya menghapus predikat buruk bila sudah terlanjur melekat. Positifnya, dampak internalnya, saya sebagai TKSK dapat bekerja tanpa beban. Tak mengejar prestasi apapun, apalagi kredit point yang memang tidak berguna bagi Tenaga Non ASN seperti TKSK. Lebih bebas bersuara, lebih berani meminta jatah kuota bantuan buat PPKS di Kecamatan Sambong lebih banyak daripada Kecamatan lain.
Pernah, untuk dana bantuan sosial dari APBD Kabupaten Blora, ketika Kecamatan lain ada yang hanya mendapatkan kuota 11, Kecamatan Sambong mendapatkan kuota 54. Kecamatan dengan jumlah desa paling sedikit, justru mendapatkan kuota lima kali lipat dibandingkan Kecamatan lain yang punya desa lebih banyak.
Itulah hikmahnya. Saya menjadi tanpa beban ketika harus memperjuangkan PPKS Kecamatan Sambong di hadapan Dinsos Kabupaten Blora agar ikut mendapatkan Dana APBD. Dari APBD Provinsi-pun, Kecamatan Sambong juga mendapatkan kuota Kartu Jateng Sejahtera relatif lebih banyak daripada beberapa kecamatan lain.
Konsekuensi Menjadi TKSK
Konsekuensi menjadi TKSK, memang bila dituruti, kesibukan yang mengikat sangat memakan waktu, pikiran, tenaga dan biaya, hanya menyisakan beberapa hari setiap bulannya. Pada beberapa hari itu dapat kita sebagai TKSK gunakan untuk kerja lain. Bertani atau berkebun. Tidak akan dapat digunakan untuk fokus berdagang kelontong atau berternak kambing sekalipun bila tidak dibantu anak istri.
Bila ternyata istri TKSK punya pekerjaan tetap, ya hanya bertani atau berkebun yang dapat dilakukan. Atau memilih untuk pegawai sambilan, 'pocokan' atau pegawai tidak tetap pada institusi lain. Itupun juga disertai dengan konsekuensi logis, yaitu 'harus siap ketika diomelin atau dinilai tidak disiplin oleh Bos kita maupun oleh Dinsos bila kebetulan ada program insidentil dari Dinas yang butuh dikoordinasikan oleh TKSK ke tingkat lapangan, atau bila ada peristiwa insidentil yang biasanya berupa permintaan tolong PPKS yang butuh fasilitasi dari TKSK.'
Kalau saya sih, memilih untuk berdiam diri di rumah saja sambil menunggu telpon ajakan ngopi dari temen-temen yang kebetulan bekerja di BUMD dan BUMN, terlebih yang jadi pemborong - kontraktor lokal. Siapa tahu mereka lagi pengin 'split'-kan sedikit CSR buat PPKS di Kecamatan Sambong. Tapi lebih sering keluar dari kantong mereka sendiri.
Meskipun insidentil dan dengan nominal sangat kecil, hanya untuk beberapa PPKS, namun bantuan dari pihak ketiga itu sangat berharga sekali. Saat menyalurkan bantuan, kita dapat melihat kegembiraan keluarga yang merawat PPKS itu. Harapan dari TKSK ketika menyalurkan bantuan insidentil sangat sederhana sekali, yaitu, "Semoga mereka tidak merasa sendiri lagi." (Heri ireng)
COMMENTS