Anak yang menjadi korban tindak kekerasan atau diperlakukan salah adalah anak yang terancam secara fisik dan nonfisik karena tindak kekerasan.
Sesuai dengan Permensos No 08 Tahun 2012, Anak yang menjadi korban tindak kekerasan atau diperlakukan salah adalah anak yang terancam secara fisik dan nonfisik karena tindak kekerasan, diperlakukan salah atau tidak semestinya dalam lingkungan keluarga atau lingkungan sosial terdekatnya, sehingga tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya dengan wajar baik secara jasmani, rohani maupun sosial.
Kriteria :
- anak (laki-laki/perempuan) dibawah usia 18 (delapan belas) tahun;
- sering mendapat perlakuan kasar dan kejam dan tindakan yang berakibat secara fisik dan/atau psikologis;
- pernah dianiaya dan/atau diperkosa; dan
- dipaksa bekerja (tidak atas kemauannya)
Untuk selanjutnya, pada program atensi bantuan maupun perlindungan sosial, PMKS PPKS kategori Anak Korban Tindak Kekerasan atau Diperlakukan Salah kemudian disebut sebagai Anak Korban Tindak Kekerasan saja. Kasus legendaries Anak yang menjadi Korban Tindak Kekerasan adalah kasus Ari Hanggara.
Pelajaran dari Kasus Arie Hanggara
Arie Hanggara (21 Desember 1977 - 8 November 1984) adalah seorang anak yang meninggal setelah dianiaya oleh ayahnya Machtino dan ibu tirinya Santi pada 1984 hingga dinyatakan meninggal. Kasus Arie Hanggara menjadi begitu besar karena besarnya perhatian media massa untuk mengangkat tragedi tersebut.
Kasus Arie Hanggara menjadi bukti bahwa Negara belum dapat hadir dengan baik untuk mengantisipasi risiko terburuk pada PMKS PPKS kategori Anak Korban Tindak Kekerasan atau Diperlakukan Salah. Pertanyaannya, sekarang, apakah Negara telah benar-benar hadir di tengah-tengah masyarakat sebagai langkah preventif agar kasus tindak kekerasan dan perlakuan salah terhadap anak tidak lagi terulang?
Paling tidak, pada tahun 2002, Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia telah memberlakukan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Kemudian secara berkala, pada tahun 2014 Undang-Undang 23 Tahun 2002 tersebut diupdate melalui Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
Melalui Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014, Negara Kesatuan Republik Indonesia berusaha menjamin kesejahteraan tiap warga negaranya, termasuk perlindungan terhadap hak anak yang merupakan hak asasi manusia.
Pemerintah menyadari bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Anak sebagai tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa memiliki peran strategis, ciri, dan sifat khusus sehingga wajib dilindungi dari segala bentuk perlakuan tidak manusiawi yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia.
Mencakup Anak yang Masih Ada Dalam Kandungan
Dengan jelas, pada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak disebutkan bahwa Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Secara ideal, anak yang masih dalam kandungan seorang ibu, terlepas apapun status anak tersebut, asalkan seorang ibu atau calon ibu tersebut merupakan penduduk Indonesia, berhak mendapatkan perlindungan dari Pemerintah.
Perlindungan Anak tersebut dimaksudkan untuk menjamin dan melindungi Anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Di Kabupaten Blora, Negara Hadir melalui Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Dinsos P3A) Kabupaten Blora. Bidang P3A tercatat telah berkali melaksanakan sosialisasi, pembinaan, pemberdayaan, serta advokasi untuk perempuan di tiap Kecamatan di Kabupaten Blora. Perlu disyukuri, kasus tindak kekerasan dan perlakuan salah oleh orang tua kepada anak di Kabupaten Blora sangat jarang ditemui.
Pengembangan Wacana Perlindungan terhadap Anak Korban Tindak Kekerasan
Pada masa Orde Baru, masa pra reformasi, sangat lazim terjadi kekerasan terhadap anak, terlebih pada keluarga tradisional yang mempunyai anak lebih dari 3 orang atau dari keluarga pra sejahtera. Masa kegembiraan sebagai anak seolah terhenti ketika anak tersebut mempunyai adik. Masa-masa gembira seolah segera berganti menjadi masa-masa kenakalan anak. Kecuali bila ibunya yang hamil kemudian menggugurkan kandungannya, pada masa itu kasus aborsi juga tinggi.
Perkara anak, tak jarang ditemui orang tua yang kerap membentak anaknya, menyeret anaknya yang sedang ngambek, mencubit sampai nangis, menampar pada bagian tubuh tertentu, bahkan mengikat anak di tiang rumah dan mengguyurnya dengan seember air, sampai tangis anak itu terhenti sendiri oleh sistem perlindungan dirinya sendiri. Jelas ini menyakiti anak dari sisi fisik maupun psikis.
Orang tua saat itu sering lupa bahwa anak bukanlah orang dewasa yang bertubuh kecil. Pada waktu-waktu tertentu, anak sering merasa tidak mendapatkan kasih sayang dan perhatian orang tua. Bagaimana hendak memperhatikan anak-anaknya, bila disibukkan dengan urusan uang? Anak sering mengalami depresi. Di rumah merasa 'dicuekin', di sekolah menjadi liar, kalau tidak mem-bully anak lain ya menjadi korban bullying. Bullying di sekolah menjadi makanan sehari-hari.
Berani melawan guru, atau merasa ketakutan pada guru adalah hal biasa. Berkelahi dengan teman menjadi kebiasaan. Hari ini menang, besok kalah dan menangis, lusa kelahi lagi. Bila tidak kelahi di jam-jam istirahat sekolah, ya pada jam bermain di luar sekolah. Habis kelahi, rukun lagi. Namanya juga anak.
Seiring dengan waktu, paska reformasi, orang makin sadar Hukum dan Hak Asasi Manusia. Juga harus diakui, karena keberhasilan Program Keluarga Berencana, kekerasan terhadap anak di tingkat rumah tangga sudah jarang terjadi. Keluarga satu seperti merasa diawasi oleh keluarga lain. Apalagi setelah era Tahun 2015, ketika hampir seluruh masyarakat di Jawa melek teknologi informasi, sedikit berbuat tidak baik pada anak saja sudah diviralkan dan mendapatkan sangsi moral dari para pengguna TI.
Persoalan Teknologi Informasi yang melibatkan Anak
Pada masa paska reformasi, anak-anak lebih merasa tenang dan mendapat perhatian serta kasih sayang. Persoalan yang datang kemudian adalah justru pada persoalan Teknologi Informasi. Kasus yang sering terjadi adalah eksploitasi anak sebagai sumber content serta kasus bullying di sekolah swasta maupun negeri.
Mungkin kita masih ingat pada seorang Lady Di. Princess dari Kerajaan Inggris. Lady Diana saat itu sangat tidak suka bila ada paparazzi yang berusaha mengambil foto Prince William maupun Prince Harry. Dengan alasan privacy, Lady Diana melindungi anak-anaknya dari kejaran para paparazzi. Sangat berbanding terbalik pada kehidupan orang tua saat ini. Sekarang, tingkah lucu anak sering dijadikan obyek untuk membuat content, bahkan sering kali si pembuat konten adalah orang tua mereka sendiri.
Muncul lagi puluhan kasus Anak yang Korban Tindak Kekerasan dan Perlakuan Salah. Bukan lagi oleh orang tua mereka, tapi dari lingkungan dan teman-teman mereka sendiri.
Pada sisi lain. Kesadaran pada eksistensi diri lewat teknologi informasi secara instant masuk ke pikiran anak-anak kita. Diaktualisasikan melalui pembuatan konten positif maupun negatif lewat media sosial akibat kemajuan teknologi informasi. Konten positif seperti video pembelajaran dan fotografi lingkungan wajib kita kasih apresiasi tinggi.
Sedangkan, konten negatif, seperti bullying, hendaknya kita antisipasi. Tak jarang kelompok anak tega menjadikan temannya sebagai obyek bullying, baik di sekolah maupun di luar sekolah. Celakanya, mereka secara sadar menggunggahnya di media sosial demi pemenuhan hasrat dan cara mengaktualisasikan diri. Miris. Memperihatinkan.
Unggahan mereka di media sosial menghasilkan ribuan bully-an baru, bagi mereka sendiri. Begitu unggahan mereka dianggap tidak pantas, maka dengan senang hati para netizen +62 menghamburkan jutaan bahasa bully. Selalu saja begitu. Sebuah lingkaran setan baru di era teknologi informasi. Memunculkan lagi puluhan kasus PMKS PPKS kategori Anak Korban Tindak Kekerasan atau Diperlakukan Salah. Bukan lagi oleh orang tua mereka, tapi dari lingkungan dan teman-teman mereka sendiri. (heri ireng)
COMMENTS